Minggu, 24 Maret 2013

SEJARAH SUNDALAND & KERAJAAN SUNDA NUSANTARA

Secara geohistoris sekitar 86 juta tahun sebelum masehi, daratan/ dangkalan/ benua SUNDA masih nyatu dengan daratan India (Asia) sampai ke New Guinea (P. Papua). bahwa sejak ± tahun 130 Masehi pada saat itu sudah ada pemerintahan   Kerajaan Maha Raja Sunda yaitu Sunda Nusantara dengan ibukota negara di Salaka Nagara (Bantam/Banten). Kemudian perkembangan Kerajaan Maha Raja Sunda berlajut terus hingga sekitar abad ke-4 yang di kenal dengan nama Kerajaan Maha Raja Sunda Taruma Nagara dan pada saat itu sudah di kenal oleh Kerajaan China (Tingkok) dengan sebutan (lafad) Tiongkok Cina menyebutnya TO LO MO.
Selanjutnya catatan sejarah abad ke-7 (tujuh) menunjukkan bahwa Kerajaan Maha Raja Sunda, Sunda Nusantara berkembang dan berpusat di Kerajaan Galuh (Ciamis – Jawa Barat), kemudian pada abad ke-13 (tiga belas) pusat pemerintahan dipindahkan dari Galuh ke Pajajaran atau disebut Pakwan (Istana) Pajajaran. Sejak saat itu Kerajaan Maha Raja Sunda di daratan (Benua) Sunda di sebut juga Kerajaan Pajajaran dengan ibukota Pakwan Pajajaran (Bogor – Jawa Barat).
Setelah itu pada sekitar tahun 723 Masehi, pusat Kerajaan Maha Raja Sunda, Sunda Nusantara bergeser ke arah timur, dengan sebutan Medang Kamulan, yang selanjutnya berkembang dan kelak menjadi Kerajaan Mataram.
Sekitar abad ke-16 (enam belas) wilayah kerajaan (Territory Sovereignty) telah mencakup pula wilayah kesultanan Demak (Jawa Tengah). Pada abad ke-16 ini, Kerajaan Maha Raja Sunda, Sunda Nusantara telah berkembang lebih-lanjut yakni pada tahun 1513 – 1552 ketika pada masa pemerintahan Maha Raja / Emperor Seri Baginda Maha Raja Kanjeng Susuhunan Gunung Jati, Pusat Kerajaan Maha Raja Sunda, Sunda Nusantara (Sunda Archipelago) ketika itu berkedudukan di Charuban (Cirebon).
Kemudian sejak tahun 1552 pemerintahan Kerajaan Maha Raja Sunda diteruskan oleh Sultan Hasanuddin, dengan gelar Emperor Seri Paduka Yang Maha Mulya Baginda Majesty Kaiser Kanjeng Susuhunan Maulana Hasanuddin dan pusat pemerintahan bergeser dari Cirebon ke Sunda Kelapa atau Jayakarta (Jakarta sekarang).
Tampuk pimpinan Kemaharajaan Sunda Nusantara berlanjut terus turun-temurun sampai pada tahun 1753 – 1776 dan di pegang oleh Emperor Seri Paduka Yang Maha Mulya Baginda Maha Raja Majesty Kanjeng Sultan Abun Nasar Moehammad Arief Zainal Asikin, beliau beristrikan Kanjeng Ratu Sepuh, putri dari Susuhunan Mataram bergelar Prince Kanjeng Gusti Pangeran Harya Puger Susuhunan Paku Buwono I.
Dengan adanya pertalian melalui pernikahan tsb, maka pada dasarnya kekuasaan Kerajaan Maha Raja Sunda, Benua Sunda, Sunda Nusantara mencakup wilayah kekuasaan dari Daratan Sunda Malacca (Melayu dan Singapura) dan dari Jawa Barat sampai ke wilayah Kendal, Banyumas, Jepara dan seluruh Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu, Siam, Siak, Indrapura, dan Indragiri (Pulau Sunda Besar Andalas) serta Pulau Sunda Besar Borneo.
Pada tahun 1776 tahta Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara selanjutnya di pegang oleh putra tertuanya yakni Emperor Seri Paduka Yang Maha Mulya Baginda Maha Raja Majesty Kaiser Kanjeng Sultan Abul Mafachir Moehammad Alioedin I, yang memerintah pada sekitar tahun 1776 – 1810 (Kasus Pulau Banda), selain daripada itu pada tanggal 4 Juli 1776 Amerika mendapat kemerdekaannya dari Kaiser Kanjeng Sultan Abul Mafachir Moehammad Alioedin I, bukan dari Kerajaan Inggris.
Pada tahun 1810 tampuk pimpinan selanjutnya di pegang oleh Kaiser Kanjeng Sultan Achmad, ketika itu beliau mengundang sahabatnya bernama Thomas Stanford Raffles, seorang Jenderal dari Kerajaan Inggris, untuk bersama-sama melakukan pelayaran ke Sunda Kecil (Pulau Banda) dalam rangka merayakan kemenangan Kemaha-rajaan Sunda Nusantara melawan penyerangan dari pasukan Kerajaan Perancis (thn 1810).
Sesampainya di Pulau Banda, dengan segala kelicikannya, T.S. Raffles membuang (meninggalkan) Sultan Achmad di Pulau Banda. Untuk melicinkan kepentingan politiknya, T.S. Raffles menghilangkan bukti sejarah lainnya dengan menghancurkan Istana Surosowan Banten. Kemudian pada tahun 1816, T.S. Raffles menyerahkan pendudukan (Annexation) administratif kolonial di wilayah Sunda Nusantara kepada Kerajaan Perancis yang diwakili oleh Herman William Daendels di Semarang.
Dari rangkaian peristiwa diatas (kasus Pulau Banda dan Semarang), dimulailah proses manipulasi Sejarah Kebangsaan Bangsa Sunda Nusantara dan pemalsuan sejarah dunia berlanjut terus sampai diperkenalkannya nama “Indonesia” hingga saat ini.
Melihat perkembangan sejarah bangsa yang cenderung selalu di manipulasi dari waktu ke waktu serta penderitaan sebagian besar rakyat Kemaharajaan Sunda Nusantara, maka menimbang kepada Hukum Internasional yang berlaku berdasarkan:
a). Kongres Vienna Tahun 1815 ;
b). Prinsip Ethiopia Tahun 1938 ;
c). The Internasional Rule of Yalta, 5 Februari 1945 ;
d). Forma Autem Regimitis Mutata, Nox Mutator Ipsa Populus Doktrin Uni Possidetis : Nec VI, Nec Clam, Nec Precario ;
e). Resolusi Internasional Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 (artikel 1,2,3,4,& 5);
f). Prinsip Statute of Limitation (Lost of Limitation)

Maka pada tahun 1976, Pemerintah Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara mengajukan resolusi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Internasional (MI), yang menyampaikan penjelasan eksistensi Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara.
Selanjutnya PBB dan Dunia Internasional ternyata masih mengakui keberadaan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara dan pemerintahan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara masih berlanjut. Pengakuan PBB dan Dunia Internasional tersebut masing-masing tahun ; 1970, 1976, 1985, 1991, 1992, 1993, 1995, 2001. . . . . dst 2005, 2006, 2007, dan sampai saat ini pun pengakuan Dunia Internasional bukan hanya kepada wilayah territorial (Territorial Integrity) milik Kerajaaan Maha Raja Sunda Nusantara tapi juga kepada pemerintahan dan Bangsa Sunda Nusantara, yang sampai saat ini tampuk Kekaisaran di pegang oleh Seri Baginda Abul Mafachir Moehammad Heroeningrat Siliwangi Al – Misri II.
Paspor dan identitas diplomatik dari Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara masih berlaku diseluruh dunia dan diakui di lembaga-lembaga keuangan dunia hingga saat ini. Para pemegang paspor tersebut disapa Yang Mulia (Your Majesty) oleh para dubes & pejabat kedubes negara Amerika Serikat, Rusia, Belanda, Inggris, Jepang dst.
Kini waktu telah berjalan mundur akankah tarik ulur kebohongan ini akan tetap dipertahankan atau kebangkrutan ekonomi dunia yang memaksa mereka buka mulut tentang siapa pemegang Super Power ekonomi dan kesejahteraan ummat manusia sebenarnya: Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar